PERTANIAN - Bayangkan ini, Indonesia, negeri yang begitu kaya akan alam, memiliki hampir 65 persen penduduknya bekerja sebagai petani. Sebuah negeri yang hamparannya begitu subur hingga kata “gemah ripah loh jinawi” bukan sekadar peribahasa, tetapi realitas sehari-hari bagi banyak daerah. Namun, ironisnya, kita masih kerap mendengar kabar bahwa bahan pangan pokok seperti beras, kedelai, atau bahkan bawang putih harus diimpor. Aneh bukan? Negeri agraris yang selalu dijuluki lumbung pangan ini seolah tak mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi?
Ketika bicara tentang ketahanan pangan, yang kita maksudkan bukanlah sekadar memiliki stok pangan yang cukup untuk bertahan beberapa bulan. Bukan pula sekadar menenangkan masyarakat dengan janji-janji politik saat musim panen tiba. Ketahanan pangan, atau lebih mulia lagi, swasembada pangan, adalah tentang kemampuan kita sebagai bangsa untuk berdiri di atas kaki sendiri. Swasembada pangan artinya mampu memenuhi kebutuhan pokok kita dari dalam negeri, tanpa satu butir pun harus bergantung pada impor. Bayangkan bagaimana kuatnya bangsa ini jika kita bisa memastikan tidak ada satu jenis pangan pokok pun yang perlu diimpor. Betapa menggelitik untuk membayangkan Indonesia sebagai contoh negara yang benar-benar mandiri dalam hal pangan!
Baca juga:
Kelompok Petani Muda Sukses Bisnis Pertanian
|
Nah, mari kita lihat lebih dekat. Indonesia sudah punya modal besar untuk mewujudkan impian swasembada ini. Tanah kita luas, subur, dan kaya. Dari Sabang sampai Merauke, ada lahan-lahan potensial yang siap ditanami beragam jenis pangan. Petani-petani kita adalah pejuang gigih yang selalu kembali ke sawah mereka, musim demi musim, kendati dihantam harga yang sering tidak berpihak. Modal lainnya? Teknologi pertanian kita tidak ketinggalan zaman; kita punya inovasi, riset, dan dukungan teknologi yang bisa membantu meningkatkan produksi.
Pertanyaannya, kalau sudah ada modal sebesar itu, mengapa masih ada impor? Di sinilah sebenarnya letak tantangannya. Swasembada pangan tak bisa terwujud hanya dengan seruan semangat dan janji kosong. Ia memerlukan strategi yang nyata, intensifikasi lahan untuk meningkatkan produktivitas, ekstensifikasi untuk memperluas area tanam, dan tentu saja, modernisasi agar petani kita tidak tertinggal dari negara lain. Artinya, kita perlu mendukung petani agar bisa menghasilkan lebih banyak dengan sumber daya yang lebih sedikit. Bayangkan, jika semua petani kita bisa menghasilkan lebih banyak tanpa menambah luas lahan, apa masih perlu impor?
Sayangnya, terkadang dukungan itu masih minim atau belum tepat sasaran. Para petani kecil sering menghadapi masalah harga pupuk, alat pertanian, hingga akses pasar. Mereka bekerja keras di sawah, namun harga yang mereka terima tak sebanding dengan jerih payah mereka. Maka, swasembada pangan sejati memerlukan dukungan kebijakan yang kuat, dari harga jual yang melindungi petani hingga subsidi alat dan bahan pertanian. Ini adalah tanggung jawab semua pihak: dari pemerintah, akademisi, sampai masyarakat yang perlu menghargai dan membeli produk dalam negeri.
Tentu, ada pula tantangan dari perubahan iklim yang mempengaruhi pola musim dan kualitas tanah. Tapi, bukankah ini juga peluang untuk inovasi? Pengembangan bibit unggul, teknik irigasi yang hemat air, serta pemanfaatan teknologi informasi untuk memantau dan mengelola lahan bisa menjadi solusi yang membuat petani kita lebih tangguh menghadapi perubahan. Tidak hanya itu, diversifikasi pangan juga dapat menjadi jawaban. Indonesia memiliki tanaman sagu, singkong, dan umbi-umbian lain yang bisa menggantikan dominasi beras. Jika semua sumber pangan ini dikelola dan didistribusikan dengan baik, kita bisa membangun ketahanan pangan yang lebih tangguh dan beragam.
Bayangkan jika suatu hari, Indonesia benar-benar mencapai zero import—tidak ada sebutir pun bahan pangan pokok yang masuk dari luar negeri. Semua diproduksi di dalam negeri, semua hasil tangan petani kita sendiri. Hasil ini bukan hanya soal berapa banyak yang bisa kita panen, tetapi juga soal harga diri sebagai bangsa agraris. Swasembada pangan bukanlah mimpi yang mustahil. Dengan niat dan strategi yang nyata, dengan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, Indonesia bisa menjadi contoh bagi dunia sebagai negara yang benar-benar mandiri dalam pangan.
Jadi, masih perlu impor?
Jakarta, 03 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi